Rabu, 10 September 2014

Bising dalam Sepi

Saat makan siang tadi bersama beberapa kolega, ada pertanyaan yang dilontarkan kepadaku: "AL lu ada rencana pengen nikah ga?" kontan aku jawab "Ya iyalah", pertanyaan pun berlanjut "Kenapa pengen nikah?". Seperti halnya pertanyaan lain yang diawali kata kenapa, jawabannya diawali dengan kata "karena" dan diikuti dengan penjabaran yang berasal dari pertimbangan berdasarkan pengetahuan, pengalaman, maupun nilai-nilai yang diyakini. Dalam konteks jawaban tadi justru kolegaku yang bertanya, menjawab: "Menikah itu biar ada teman berbagi, dan biar ga kesepian." Kolegaku yang lain setuju. Aku bertanya dalam hati: "Benarkah?"

Malam sebelumnya, 9 September 2014, aku menyaksikan sebuah pertunjukan berjudul dinding tanpa relief (review menyusul). Ada sebuah dialog menarik yang kurang lebih kutangkap bunyinya seperti: "Pada akhirnya manusia tetap tidak bisa mengalahkan kesepiannya masing-masing."

Lagi-lagi tentang kesepian. Hal yang sangat jarang sekaligus terus menerus aku rasakan.

Karena aku tumbuh sebagai anak kecil yang introvert maka sepi menjadi niscaya. Semakin dewasa semakin kuamati bahwa sepi adalah teman sejati manusia yang justru hadir yang lain meninggalkan. Namun semenjak di bangku Sekolah Menengah Pertama sepiku tak lagi terisi hampa melainkan suara.

Semakin ke sini semakin banyak suara yang mengisi kepala di saat kesepian yang tersisa. Walaupun berbeda dengan bising di kala sepi dahulu yang berisi suara serupa teriakan. Kini suara bising lebih sering merupa bisik. Bisik yang saling bertumpuk dan mengalunkan bising dalam sepi.