Minggu, 27 Desember 2015

(resensi film) 3 - Alif Lam Mim

"Ini film kerennya kebangetan" 

itu adalah pikiran yang berkecamuk sepanjang saya menonton film ini. Namun sayang, seperti beberapa film Indonesia bagus yang lain, di bioskop hanya terdapat sedikit penonton.

Jujur, ekspektasi saya saat hendak menonton film ini cukup tinggi. Entah ekspektasi atas tawaran konflik yang disajikan, maupun ekspektasi akan keaktoran para pemeran yang beberapa di antaranya adalah aktor favorit saya seperti Abimana dan Agus Kuncoro.



Film dibuka dengan perjalanan paparan dan cuplikan media dari saat ini (2015) menuju ke waktu ketika cerita ini berlangsung di tahun 2050an. Di film ini digambarkan, pada tahun 2050an Jakarta (dan Indonesia?) sudah menjadi sebuah negara liberal. Pada tahun tersebut juga digambarkan bahwa orang Jakarta sudah merasa malu beragama. Konflik dimulai saat Alif, yang dimainkan oleh Cornelio Sunny melakukan penyergapan namun Target Operasi terbunuh sehingga Alif mendapatkan hukuman. 

Adegan kemudian berlanjut dengan pola mundur menggambarkan Alif dengan kedua sahabatnya Lam dan Mim, di masa lalu, saat menuntut ilmu di pondok. 

Jumat, 20 November 2015

Kontemplasinsomnia 1

Aku pernah jatuh cinta, sungguh-sungguh jatuh cinta. 

Pada kepribadian, pada kecerdasan, pada kesalihan, pada paras yang menawan, pada kecocokan pembicaraan, pada kesabaran, pada kelihaian dalam menangani emosi dan situasi, pada keunikan pola pikir, hingga suatu ketika aku sadar...


...bahwa aku tak layak

Lalu kutinggalkan semua kecuali jarak
Kemudian kuhempaskan semua kecuali sepi
Semakin dalam perenungan hening tak bertepi
Hingga ijab-kabul terucap ikrarkan misteri

Bahwa tak ada yang akan terungkap selain permukaan

Bahwa dari topeng yang terkuak akan ada topeng baru yang dilahirkan

Bahwa dibalik tabir terakhir adalah ilahi yang Maha Takdir

Maka tengadahlah, lalu berlutut
Karena jarak terdekat ada dalam sujud

Sabtu, 24 Oktober 2015

Kata Kaya Rasa

Kata kaya rasa
Rasa kaya kata
Katanya kata bisa menjalin rasa
Rasanya rasa bisa diungkap oleh kata
Tapi kita tetap di sini
Duduk berjauhan
Perlahan menyusun kata
Perlahan mereka rasa
Tapi perutku kembung
Mabuk kata-kata

Napasku gemetar
Lalu getarku membentuk kata
Dan kita terus menumpuk kata
Hingga kita merasa kaya

*dibuat dan dibacakan pada MalamPuisiJakarta 24/10/2015 dengan tema #KayaKayaRasa*

Rabu, 24 Juni 2015

Sangka

Saat aku menghilang
Kutemukan Tuhan
Yang Maha Tak Terbilang
Berbaris rapih dalam sangkaan

Telentang dan Telanjang
Keberadaan dipicu keberpikiran
Dan Tuhan menjelma urat nadi
Sedenyut
Lalu sekian juta denyut
Temu mulai kehilangan Tuhan

Rabu, 03 Juni 2015

SCARS #NulisRandom2015 #3

Tulisan bagian ketiga dari 30 tulisan seorang AL dalam #NulisRandom2015

Scars


Most of the time, 

they made us who we are


Selasa, 02 Juni 2015

ALIENASI #NulisRandom2015 #2

Tulisan kedua dari 30 tulisan seorang AL di #NulisRandom2015

Hari ini seorang AL sibuk berwisata ke berbagai tempat, di benaknya. Karena tubuhnya yang hanya tergeletak di atas kasur, maka pikirannya dikembarai berbagai bentuk memori dan imajinasi. Salah satu tempat favorit dalam pikiran seorang AL adalah sebuah tempat di mana keterasingan menjadi tuan rumah atas berbagai resah, gundah, dan gelisah tentang rumah.

Konsep keterasingan sudah lama tertanam dan tumbuh dalam benak seorang AL, bahkan beberapa tahun sebelum dia mengenal konsep keterasingan di atas panggung dari Bertolt Brecht, seorang teatrawan, penyair, dan penulis revolusioner dari Jerman.

Salah satu konsep keterasingan yang sudah memiliki bentuk dalam hidup seorang AL adalah pada sebuah kata yang dijadikannya nama dalam kelompok kepanduan semasa Sekolah Menengah Pertama: Ghuroba. Kata yang berasal dari bahasa arab dan berarti 'orang asing' ini sedemikian ia gemari. Keterlepasan seorang AL dari lingkungan sekitar membuatnya menjadi terasing. Sehingga kemudian meletakkan dirinya sebagai orang luar (outsider) dalam berbagai kelompok masyarakat yang ditemuinya, mungkin bahkan terhadap keluarganya.

Waktu berjalan dan seorang AL akhirnya menemui konsep keterasingan yang ditawarkan oleh Brecht. Walau masih harus belajar banyak tentang implementasi konsep tersebut dalam sebuah pementasan teater. Namun ia tetap tak berhenti mengidentifikasi dirinya sebagai entitas asing pada berbagai ekosistem yang dihuninya. Keterasingan juga yang membawa seorang AL untuk merangkai sajak pendek berikut:


TER(ASI)NG

di sudut kamar mandi, kata bermandikan diri, percikkan aksara
di dekat pisau cukur, kata tergeletak, terbelah, terpecah-pecah, Kata ternoda bercak darah
di bidang-bidang lantai lorong kos, kata mengembang, cahaya ditantang, bayang ditimbang

di akhir bait ini kata akan 
berdiri sendiri
tak hendak
ada yang
temani



Senin, 01 Juni 2015

(The Long Awaited) White Walkers #NulisRandom2015 #1

Tulisan pertama dari 30 tulisan seorang AL di #NulisRandom2015

Kira-kira 4 tahun yang lalu seorang AL berkenalan dengan sebuah series yang ternyata menjadi kegemarannya. Games of Thrones (GoT), sebuah series orisinil dari HBO yang diangkat dari novel karya George R.R. Martin. Telah menarik minat seorang AL dengan segala intrik politik, kekuasaan, dan juga ritme cerita yang dirangkai sedemikian apik.

Dalam series ini mengalir berbagai konflik yang bertumpuk dan berlapis. Sehingga setiap episode dari keempat musim yang sudah tayang dan satu musim yang sedang tayang ini sangat ditunggu-tunggu. Walaupun begitu ada yang AL tunggu sedari series ini dimulai sekitar lima tahun yang lalu: White Walkers, sekelompok makhluk mistis yang membuat dua tokoh yang muncul episode pilot series ini berlari ketakutan dan dipancung karena pergi meninggalkan tugas dan dianggap berkhianat.

Makhluk ini bisa dikategorikan sangat mengerikan dalam series GoT hanya muncul beberapa kali dalam beberapa musim. Umumnya penampakan White Walkers ini hanya sekilas namun cukup menegangkan. Kengerian dari White Walkers dalam empat musim sebelumnya pun AL rasa masih sebatas Zombie atau Undead biasa. Tapi entah mengapa keluarga Stark, yang memiliki motto "Winter is Coming" seakan memiliki kewaspadaan sangat tinggi kepada musim dingin panjang yang datang seiring dengan pasukan White Walkers yang mengerikan ini.

Namun segala penantian yang telah terpendam dalam kubangan rasa penasaran akhirnya terjawab sudah. Pada episode kedelapan di musim kelima ini ada porsi lebih dari sekadar penampakan. Di episode ini ada pengungkapan, ada pertarungan, dan ada kengerian yang semakin menjadi-menjadi. Sehingga akhir dari episode yang tayang pada awal Juni ini seakan mengamini motto dari keluarga Stark.

WINTER IS COMING.

Selasa, 05 Mei 2015

It Was Cold

It was cold...

It was sword...

It was nothing like I thought

They were slicing the night, both

the cold and the sword

The sweet sound of silence was broken

By the voiceless scream, in such sleepless dream

It was a hanging towel on my bathroom

It was a banging bowel inside my asylum

It was nothing...

but the whispering noice of good bye

but the micro expression of content

It was cold...

It was your word..

Senin, 27 April 2015

(review film) Melancholy is a Movement


Kesan pertama yang saya dapatkan saat melihat poster film ini adalah nilai estetika yang akan memanjakan mata saya saat menyaksikan film. Maka tanpa ragu lagi saya masuk dan menonton film yang berjajar dengan #Furious7 di bioskop yang saya datangi. Tidak seperti film yang saya sebutkan pada kalimat sebelumnya, kursi di dalam studio film ini sangatlah lengang. Namun tak mengapa, saya mengosongkan ekspektasi apapun saat menonton film ini.

Adegan-adegan dimulai dengan peristiwa kehilangan. Kemudian ditingkahi oleh adegan-adegan dan dialog-dialog yang penuh makna tersirat namun tetap terdengar alami dan apa adanya, tidak dibuat-buat.

Poster Film Melancholy is a Movement

Konflik utama yang disajikan dalam film ini adalah gelisah batin Joko, seorang sutradara yang dikenal sebagai seorang idealis, dan anti untuk membuat film reliji. Namun karena kondisi ekonomi yang mendesak maka Jokow bersedia untuk membuat film reliji walau dengan ide yang tetap anti-mainstream. 

Film ini banyak menyajikan adegan-adegan yang memiliki nilai estetika tinggi dan penuh dengan permainan semiotika dan metafora. Film ini menjadi sebuah film yang indah sekaligus menggelitik kesadaran, terutama bagi mereka yang mengikuti dunia perfilman nasional.

Sabtu, 11 April 2015

(review teater) Psikosis 4.48 pementasan oleh Riset Teater

Post-dramatic Theater, jujur hal tersebut terdengar asing bagi saya yang memang kurang mengikuti perkembangan genre teater. Namun ekspektasi saya - dalam keterbatasan saya memahami genre teater ini - adalah bahwa genre teater ini bisa dibilang kontemporer atau bahkan mungkin 'eksperimental'.  Yang jelas ekspektasi saya terhadap teater jenis ini adalah bukan suguhan pementasan konvensional dengan plot yang jelas.

Ketika sebuah pementasan dibawakan dengan mengusung genre Post-dramatic Theater, terlebih dengan judulnya yang membuat saya bingung di mana saya harus meletakkan ekspektasi saya terhadap pementasan ini. Maka judul Psikosis 4.48, sebuah naskah dari Sarah Kane ini, telah membuat saya menyerah terhadap sajian apapun yang akan saya nikmati.

Benar saja, pementasan Psikosis 4.48 ini dimulai dengan perpaduan teknologi big screen yang ditembak oleh proyektor (yang akhir-akhir ini menjadi tren dan digunakan dalam pementasan beberapa teater di Jakarta) dengan paparan seakan-akan 'suara di dalam kepala'.

Psikosis 4.48 dibawakan oleh Riset Teater Jakarta di Teater Salihara
Dibawakan oleh tiga aktris dan seorang aktor, pertunjukan Psikosis 4.48 cukup meneror kesadaran saya sebagai penonton. Teror yang disajikan dalam bentuk repetisi-repetisi dialog dan gerak, serta interaksi yang menyakitkan antara aktris dengan panggung maupun antar aktris. Dialog-dialog yang diucapkan oleh para aktris dengan intensitas yang kerap tinggi pun mengangkat ritme permainan seiring dengan efek-efek suara yang diberikan. Selain intensitas, dialog-dialog yang kaya dengan atribut seks dan kekerasan juga meneror kesadaran saya. Seks digambarkan sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan, sesuatu membuat kecanduan namun meninggalkan rasa sakit yang sedemikian dalam. Secara umum pementasan Psikosis 4.48 yang disutradarai oleh Ferdi Firdaus berhasil memberikan 'kesegaran' dalam konteks sajian yang berbeda. 


Selasa, 07 April 2015

(movie review) AIR dan API: Si Jago Merah 2

*spoiler alert*
*dalam tulisan review ini akan ada beberap paparan adegan yang ada di film AIR dan API*

Tantangan dari sebuah film yang sukses menarik animo penonton, adalah dengan film lanjutan (sequel) yang bisa menjadi lebih menarik atau setidaknya sama menariknya. Salah satu film Indonesia yang pernah cukup berkesan karena ciri khas dan keunikan cita rasanya sendiri adalah Si Jago Merah. Film drama komedi dengan setting petugas pemadam kebakaran, sebuah profesi yang masih kurang dieksplorasi dalam film di Indonesia, yang pada masa penanyangan cukup berhasil memancing gelak tawa para penonton.

Pada akhir Maret 2015 yang lalu sequel dari film Si Jago Merah ini ditayangkan, dengan judul AIR dan API: Si Jago Merah 2. Film ini diharapkan dapat memenuhi harapan akan menjadi film yang lebih baik atau setidaknya sama baiknya dari film yang pertama.

Dengan menampilkan sebagian besar pemain utama dari film pertamanya, sequel produksi Starvision Plus ini tampaknya berhasil memikat para penonton. Diperkuat dengan kehadiran salah satu finalis Stand Up Comedy yang memiliki khas canda a la timur Indonesia, Abdur, dan juga beberapa pemain muda yang sedang naik daun seperti Tarra Budiman dan Diyon Wiyoko, serta juga didukung dengan komposisi pemain lain yang menarik seperti Bucek, Joe P Project, Putri Una, Ferry Salim, Marissa Nasution, Merriam Belina, Laila Sari, Mongol, bintang baru Enzy Storia, dan bahkan seleb Youtube Sacha Stevenson. Dengan borongan nama-nama pemain yang menjadi komposisi menarik tentunya diharapkan suguhan yang segar dari film ini pun bisa diterima oleh masyarakat luas.

Abdur, Desta, dan Judika yang dikisahkan sudah menjadi senior dalam kesatuan DAMKAR
Bangunan cerita tertata dengan apik dari latar belakang masing-masing calon peserta didik dalam akademi pemadam kebakaran, proses dalam akademi, hingga pada saat kelulusan dan bekerja sebagai pemadam kebakaran. Rangkaian konflik yang ditampilkan pun cukup beragam dan saling melengkapi serta nampak mewakili kegelisahan dari target penontonnya. Candaan-candaan yang ditampilkan pun terasa segar dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan.

Walaupun Sutradara yang dipercaya untuk menggarap AIR & API (Raymond Handaya) ini berbeda dengan film sebelumnya (Iqbal Rais) namun film ini terasa lebih menghibur. Film sequel Si Jago Merah ini juga terasa lebih berani melakukan hal-hal yang bisa dibilang tidak biasa. Terlihat dari konflik yang berkembang, dari ketidaksetujuan orang tua terhadap pilihan anaknya, seorang yang dirasa kurang bisa bertanggung lalu menemukan rasa tanggung jawab seiring dengan proses yang berlangsung, hingga konflik persahabatan dan percintaan. Juga terasa perkembangan peran DAMKAR yang tidak hanya bertugas memadamkan API namun juga turut berperan dalam mengevakuasi korban banjir. 

Topik dan pendekatan yang dilakukan terasa sangat kekinian - dari pemilihan pemain, alunan dialog, hingga konflik-konflik yang diangkat. Hal ini tampaknya menjadi kekuatan tersendiri dari film ini. Dan sepertinya animo penonton akan sebaik (atau semoga lebih baik dari) film pertamanya. Sehingga bukan tidak mungkin film ini akan berlanjut hingga ke sequel yang selanjutnya.