Senin, 27 April 2015

(review film) Melancholy is a Movement


Kesan pertama yang saya dapatkan saat melihat poster film ini adalah nilai estetika yang akan memanjakan mata saya saat menyaksikan film. Maka tanpa ragu lagi saya masuk dan menonton film yang berjajar dengan #Furious7 di bioskop yang saya datangi. Tidak seperti film yang saya sebutkan pada kalimat sebelumnya, kursi di dalam studio film ini sangatlah lengang. Namun tak mengapa, saya mengosongkan ekspektasi apapun saat menonton film ini.

Adegan-adegan dimulai dengan peristiwa kehilangan. Kemudian ditingkahi oleh adegan-adegan dan dialog-dialog yang penuh makna tersirat namun tetap terdengar alami dan apa adanya, tidak dibuat-buat.

Poster Film Melancholy is a Movement

Konflik utama yang disajikan dalam film ini adalah gelisah batin Joko, seorang sutradara yang dikenal sebagai seorang idealis, dan anti untuk membuat film reliji. Namun karena kondisi ekonomi yang mendesak maka Jokow bersedia untuk membuat film reliji walau dengan ide yang tetap anti-mainstream. 

Film ini banyak menyajikan adegan-adegan yang memiliki nilai estetika tinggi dan penuh dengan permainan semiotika dan metafora. Film ini menjadi sebuah film yang indah sekaligus menggelitik kesadaran, terutama bagi mereka yang mengikuti dunia perfilman nasional.

Sabtu, 11 April 2015

(review teater) Psikosis 4.48 pementasan oleh Riset Teater

Post-dramatic Theater, jujur hal tersebut terdengar asing bagi saya yang memang kurang mengikuti perkembangan genre teater. Namun ekspektasi saya - dalam keterbatasan saya memahami genre teater ini - adalah bahwa genre teater ini bisa dibilang kontemporer atau bahkan mungkin 'eksperimental'.  Yang jelas ekspektasi saya terhadap teater jenis ini adalah bukan suguhan pementasan konvensional dengan plot yang jelas.

Ketika sebuah pementasan dibawakan dengan mengusung genre Post-dramatic Theater, terlebih dengan judulnya yang membuat saya bingung di mana saya harus meletakkan ekspektasi saya terhadap pementasan ini. Maka judul Psikosis 4.48, sebuah naskah dari Sarah Kane ini, telah membuat saya menyerah terhadap sajian apapun yang akan saya nikmati.

Benar saja, pementasan Psikosis 4.48 ini dimulai dengan perpaduan teknologi big screen yang ditembak oleh proyektor (yang akhir-akhir ini menjadi tren dan digunakan dalam pementasan beberapa teater di Jakarta) dengan paparan seakan-akan 'suara di dalam kepala'.

Psikosis 4.48 dibawakan oleh Riset Teater Jakarta di Teater Salihara
Dibawakan oleh tiga aktris dan seorang aktor, pertunjukan Psikosis 4.48 cukup meneror kesadaran saya sebagai penonton. Teror yang disajikan dalam bentuk repetisi-repetisi dialog dan gerak, serta interaksi yang menyakitkan antara aktris dengan panggung maupun antar aktris. Dialog-dialog yang diucapkan oleh para aktris dengan intensitas yang kerap tinggi pun mengangkat ritme permainan seiring dengan efek-efek suara yang diberikan. Selain intensitas, dialog-dialog yang kaya dengan atribut seks dan kekerasan juga meneror kesadaran saya. Seks digambarkan sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan, sesuatu membuat kecanduan namun meninggalkan rasa sakit yang sedemikian dalam. Secara umum pementasan Psikosis 4.48 yang disutradarai oleh Ferdi Firdaus berhasil memberikan 'kesegaran' dalam konteks sajian yang berbeda. 


Selasa, 07 April 2015

(movie review) AIR dan API: Si Jago Merah 2

*spoiler alert*
*dalam tulisan review ini akan ada beberap paparan adegan yang ada di film AIR dan API*

Tantangan dari sebuah film yang sukses menarik animo penonton, adalah dengan film lanjutan (sequel) yang bisa menjadi lebih menarik atau setidaknya sama menariknya. Salah satu film Indonesia yang pernah cukup berkesan karena ciri khas dan keunikan cita rasanya sendiri adalah Si Jago Merah. Film drama komedi dengan setting petugas pemadam kebakaran, sebuah profesi yang masih kurang dieksplorasi dalam film di Indonesia, yang pada masa penanyangan cukup berhasil memancing gelak tawa para penonton.

Pada akhir Maret 2015 yang lalu sequel dari film Si Jago Merah ini ditayangkan, dengan judul AIR dan API: Si Jago Merah 2. Film ini diharapkan dapat memenuhi harapan akan menjadi film yang lebih baik atau setidaknya sama baiknya dari film yang pertama.

Dengan menampilkan sebagian besar pemain utama dari film pertamanya, sequel produksi Starvision Plus ini tampaknya berhasil memikat para penonton. Diperkuat dengan kehadiran salah satu finalis Stand Up Comedy yang memiliki khas canda a la timur Indonesia, Abdur, dan juga beberapa pemain muda yang sedang naik daun seperti Tarra Budiman dan Diyon Wiyoko, serta juga didukung dengan komposisi pemain lain yang menarik seperti Bucek, Joe P Project, Putri Una, Ferry Salim, Marissa Nasution, Merriam Belina, Laila Sari, Mongol, bintang baru Enzy Storia, dan bahkan seleb Youtube Sacha Stevenson. Dengan borongan nama-nama pemain yang menjadi komposisi menarik tentunya diharapkan suguhan yang segar dari film ini pun bisa diterima oleh masyarakat luas.

Abdur, Desta, dan Judika yang dikisahkan sudah menjadi senior dalam kesatuan DAMKAR
Bangunan cerita tertata dengan apik dari latar belakang masing-masing calon peserta didik dalam akademi pemadam kebakaran, proses dalam akademi, hingga pada saat kelulusan dan bekerja sebagai pemadam kebakaran. Rangkaian konflik yang ditampilkan pun cukup beragam dan saling melengkapi serta nampak mewakili kegelisahan dari target penontonnya. Candaan-candaan yang ditampilkan pun terasa segar dengan berbagai sudut pandang dan pendekatan.

Walaupun Sutradara yang dipercaya untuk menggarap AIR & API (Raymond Handaya) ini berbeda dengan film sebelumnya (Iqbal Rais) namun film ini terasa lebih menghibur. Film sequel Si Jago Merah ini juga terasa lebih berani melakukan hal-hal yang bisa dibilang tidak biasa. Terlihat dari konflik yang berkembang, dari ketidaksetujuan orang tua terhadap pilihan anaknya, seorang yang dirasa kurang bisa bertanggung lalu menemukan rasa tanggung jawab seiring dengan proses yang berlangsung, hingga konflik persahabatan dan percintaan. Juga terasa perkembangan peran DAMKAR yang tidak hanya bertugas memadamkan API namun juga turut berperan dalam mengevakuasi korban banjir. 

Topik dan pendekatan yang dilakukan terasa sangat kekinian - dari pemilihan pemain, alunan dialog, hingga konflik-konflik yang diangkat. Hal ini tampaknya menjadi kekuatan tersendiri dari film ini. Dan sepertinya animo penonton akan sebaik (atau semoga lebih baik dari) film pertamanya. Sehingga bukan tidak mungkin film ini akan berlanjut hingga ke sequel yang selanjutnya.