Minggu, 21 Februari 2016

Chocolate

CHOCOLATE

(disclaimer: tulisan ini dibuat setelah menonton Deadpool dan terinspirasi wajah Wade Wilson yang membuat saya teringat dengan cokelat Ferrero Rocher)

14/02/2016



KAKAO makes me fat!
KAKAO, KAKAO, KAKAO
Makanan para dewa dari bangsa Aztec
Kini menjadi industri kemewahan, hingga Afrodisiak
KAKAO, KAKAO, KAKAO
Makanan, minuman, cemilan, cepuluh
Mendominasi berbagai rasa, sedikit hingga seluruh
KAKAO, KAKAO, KAO, KAO, KAU, KAUKAH ITU?
Hadir saat sedih merundung hati
Seperti ketika ditinggal kekasih
Seperti saat deadline bertubi-tubi
Seperti tagihan datang tak kenal henti
KAKAO makes me fat
But also KAKAO makes me stop feeling sad
Is it?



KAKAO, melambungkanku tinggi seperti harga-harga saat global resesi
KAKAO, meninggi, membeku, pecah, meleleh dan menghujani ladang gandum hingga menjadi COCO
CRUNCH
KAKAO, sehari sebatang, seminggu tujuh batang, sebulan 30 batang
Setahun 30 KG bertambah berat tubuhku, dan mentranformasi diriku menjadi PSK
Pria Seratus Kilo

KAKAO makes me fat!
But I don’t give a fat! I keep eating, I keep eating, I keep eating.

‘Cause I feel awesome after a sip or two of Bailey’s Belgian Kakao
‘Cause I feel happy after a spoonful of Ovaltine and Milo

‘Cause I feel weird, I started this so-called poem with the title CHOCOLATE but I keep calling KAKAO, KAKAO, KAKAO, instead of CHOCOLATE

I was just playing KAKAO, I mean CHOCOLATE
You know I love you

Chimichanga

(dibuat dan dibacakan saat Spoken Word. Unmasked edisi Februari 2016: Valentine Smuchlentine, Yesterday Lounge, Cipete)


Jumat, 19 Februari 2016

(Review) A Copy of My Mind - The Devil is In The Detail, so is The Beauty

Sampai dengan tulisan ini dibuat, saya sudah lima kali menonton film ini. Dua kali saat premiere dan tiga kali setelah film ini tayang di bioskop-bioskop kesayangan anda (walau mungkin anda bukan kesayangan bioskop). Saya pun hendak menonton film ini setidaknya dua hingga tiga kali lagi. Mungkin pertanyaan yang akan timbul atas pernyataan saya pada kalimat sebelum kalimat ini adalah: "Kenapa?" Dan jawaban dari pertanyaan tersebut akan dijelaskan pada beberapa paragraf di bawah ini.

Saat pertama kali menonton film besutan Bang Joko Anwar ini, saya melihat  sangat menikmati bangunan adegan dalam cerita yang sangat rapih namun tetap terlihat alami. Beberapa adegan yang terjalin oleh riuh suasana, di adegan lain adegan terbangun oleh sunyi, dan tampilan wujud dan simbol yang sekilas sederhana namun sarat dengan makna yang sublim. Sederhanya bisa dibilang film ini: "Simple tapi Dalem"

'Hotness Overload', frase tersebut juga menjadi sesuatu yang menggambarkan salah satu daya tarik (utama) dari film yang dibintangi oleh Chicco dan Tara ini. Adegan percintaan yang sangat wajar dan manusiawi namun justru jadi sangat panas. 'Adegan panas' ini tidak terjadi di hotel mewah dengan taburan bunga-bunga. Namun kejadian berbagai adegan romansa terjadi di kamar kos (yang lebih besar dari kamar saya ternyata. envy!) dengan komposisi ruangan khas pecinta film (baca: tukang terjemah DVD bajakan).

Selain kesederhanaan dan panasnya aksi romansa, satu hal yang paling utama yang menarik hati untuk berkali-kali menonton film ini adalah DETIL yang luar biasa. Ya, seperti subjudul dari tulisan ini. Detil yang luar biasa dan menjadikannya indah. Sampai-sampai saya merasa takut ada detil yang terlewat sehingga harus menonton berkali-kali. Detil seperti: anak muda trek-trekan, rombongan iring-iringan moge, pengamen buta, partisan bayaran kampanye yang uangnya kurang, kucing ngulet (salah satu favorit saya), dan juga (ini yang paling saya suka) keringat di dahi para pemain saat bangun pagi. Adegan bangun pagi ini merupakan KOENTJI (selain adzan yang seringkali bersahut-sahutan menimpali adegan hot). Saat menyaksikan adegan para pemain bangun pagi dengan peluh memenuhi wajah mereka, saya merasa sangat relate dan teringat masa lalu saat di kamar yang tidak ber-AC. Adegan bangun ini yang sering menjadi kritik pada film-film (terutama film Indonesia) yang sering menyajikan tampilan bangun pagi tapi sudah full make up dan terlihat cantik. Di film ACOMM ini adegan yang akan kamu lihat adalah adegan orang bangun yang memang apa adanya. Muka bantal.

Detil yang dibangun bukan sekadar dari segi bangunan cerita dan visual, namun juga berbagai macam suara yang disuguhkan (belakangan saya tahu bahwa untuk film ini lebih dari 20 track dibuat untuk mengisi suasana lingkungan tempat para pemain berada). Berbagai suara yang hadir seperti suara ketok-ketok abang bakso, suara tukang roti, suara enci-enci marah, dan suara siaran radio (oh gw mau banget ngisi ini) dan masih banyak lagi.

Film dengan premis sederhana ini pun dengan cantik mampu bermain dengan semiotika dan simbol serta berbagai pesan sublim (maupun frontal) terhadap kondisi perpolitikan, sosial, budaya, dan kemasyarakatan. ACOMM bukan tipe film yang menjual mimpi, namun jenis film yang memberikan penyadaran (bahwa penjahat juga butuh nabung 6 tahun tapi masih belum bisa beli rumah, dan penyadaran lainnya) tentang hidup dan kehidupan kaum menengah ke bawah dengan mimpi sederhana namun tantangan yang luar biasa. Terakhir, meminjam kata-kata dalam tweet mas @newsplatter film ini tentang maling-maling kecil, digilas maling-maling besar.