Rabu, 26 Maret 2014

Saat Puisi Bermalam

Sebuah gerakan berbasis kerinduan. Kerinduan pada ruang publik yang penuh apresiasi pada lautan kata-kata yang diucapkan, diperdengarkan. Kata-kata bersayap yang terbang tinggi-rendah mengapung-apung di benak dan perasaan. Gerakan itu (disadari atau tidak) menjadi (salah-satu) gerakan mengembalikan kemanusiaan pada jalan yang benar. Jalan keindahan.


Malam Puisi, sebuah wadah bagi para penikmat, penggemar, bahkan pecinta puisi. Termasuk saya, terutama saya. Saya sebagai salah satu dari sekian umat manusia yang menganggap diri tak lepas dari puisi (tergambar di antidentifikasi-puisidiri ) menyambut dengan sangat gembira terhadap gerakan yang menggembirakan ini. Tanpa pikir panjang segera setelah tahu bahwa Malam Puisi juga ada di kota saya, Depok, segera saya mengikutinya.

Puisi pertama yang saya baca di Malam Puisi adalah Puisi berjudul "KUCING" - salah satu puisi masyhur dari penyair yang dijuluki Mata Kiri perpuisian Indonesia: Sutardji Calzoem Bachri. Pada hari itu, Malam Puisi yang saya hadiri bertemakan "HUJAN KATA" seirama dengan kondisi Indonesia, terutama Jakarta dan sekitarnya yang tak henti-henti diguyur hujan, yang seringkali membangkitkan kerinduan, terhadap rindu itu sendiri.

Selain membacakan, pengalaman pertama itu juga sedemikian mengesankan melihat, mendengar, dan menyimak beberapa orang turut membacakan puisi dengan semangat dan ciri khas masing-masing. Menarik karena segera saya teringat pada sebuah film lawas berjudul "DEAD POET SOCIETY" yang juga bercerita tentang komunitas penikmat dan pecinta puisi.

Setelah saat pertama tersebut, muncul keinginan dan harapan saya untuk bisa lebih banyak mendalami kenikmatan dan menikmati kedalaman dalam berpuisi. Bersama wadah yang telah berkembang menjadi komunitas ini saya mengharapkan, kata-kata bersayap dapat menerbangkan kita pada ruang-ruang yang tak tercapai oleh budaya pop yang kian pragmatis seperti sekarang.

Puisi bagi saya lebih dari sekadar permainan kata. Puisi juga adalah kehidupan. Dan sebagaimana harapan saya pada kehidupan, harapan saya pada gerakan Malam Puisi agar selalu berubah ke arah kreativitas yang lebih baik, dinamis. Karena satu-satunya hal yang tetap dalam kehidupan adalah perubahan.

Salam Puisi

Senin, 03 Maret 2014

Serpihan Pikiran di Maret yang Kelaparan

Mengasing kekasih di garis edar
Rusak makna berbenih-benih enggan mekar

"lalu di mana jatah bahagiaku kau sembunyikan?" teriakmu pada suatu waktu di pikiranku

Sedemikian kusam senyum terpasang di parasmu
Sedemikian runyam raut dahaga terpasung di kerutku

Berbagai asumsi dibetot curiga, terus mencelot menerus pandang tanpa raga, tanpa dahaga, tanpa kata-apa

"lalu di mana kau sembunyikan pelajaran dari mereka yang meninggalkanmu dan kini berrumah tangga?" teriak pekat alam sadarku sadarkan alam bawah sadar sedari sadari bahwa kesadaran tak lain adalah penjaga garis edar

Kembali mengasing kami kehilangan mi tersubstitusi u, hingga bertukar tempat a dan u.

Berdiri sendiri.
Pecandu keterasingan.

Mengasingkan diri dari identitas masing-masing, memasang topeng-penuh-bopeng, karena kebenaran boleh jadi enggan mampir di sini.

Kedurhakaan para pengasing yang jua pengasih.

Lalu di hadapan duka kami menjadi duta dari sedak yang tertahan bahak di pelupuk wacana.

Di saat segala tertahan, air mata adalah bahan bakar kata, dan lapar kawanku, lapar itu pertanda.

Bahwa di bawah dada ada terletak lorong-lorong jelajahi-dan-cerna.

Dan tengkar kita dalam tentukan garis edar. Hanya relevan bagi dua hati yang bersimfoni, bersidebar.