Kamis, 03 Maret 2016

For The Future Is Dark And Full Of Terror

Disclaimer: Tulisan ini dibuat selain untuk #MenulisMaret namun juga didekasikan kepada yang sedang (atau kerap) didera oleh kegusaran, keresahan, kegundahan baik sesaat maupun berkepanjangan

Judul dari tulisan ini diadaptasi (atau lebih tepatnya nyolong) dari ungkapan yang cukup dikenal dalam series kegemaran kita semua  saya, 'Games Of Throne'. Ungkapan yang tertera pada judul tulisan ini merupakan sebuah gambaran singkat tentang kegusaran (yang dialami oleh hampir seluruh umat manusia yang berpikir) tentang masa depan.

Berbicara tentang masa depan, salah satu kaum ---tsaelah kaum--- yang sebentar lagi akan melewati salah satu fase penting dalam hidup mereka. Kaum (ter)pelajar di jenjang Sekolah Menengah, Bulan April, kaum tersebut akan menghadapi ujian kehidupan dan Ujian Nasional (yang entah masih menjadi penentu kelulusan atau tidak). Hal ini membuat saya teringat pada masa-masa saya menjelang UN, dua belas tahun yang lalu.

Saat itu saya adalah satu dari sekian banyak anak manusia 'berseragam putih abu-abu' ---ga dink seragam SMA saya dulu cokelat-krem macam pegawai PEMDA--- yang bingung dan khawatir tentang melanjutkan masa depan yang bagaimana. Kerja? Kuliah? Masuk jurusan apa? Nanti bayarnya bagaimana? Jujur saya sempat ingin menjadi seorang atlet beladiri atau setidaknya pemain SmackDown pertama dari Indonesia, saya juga sempat ingin jadi mata-mata dan pembunuh bayaran (iya saya dulu kebanyakan nonton).

Saya khawatir karena saya (hampir) tak punya kecendrungan khusus terhadap satu bidang (pelajaran). Nilai saya paling tinggi adalah Bahasa Inggris dan Agama. Bapak saya sempat berkata "Yaudah kamu jadi ustadz aja". "Yeah right. Gue jadi ustadz". Balas saya. Dalam hati. Karena berbagai kekhawatiran akhirnya saya menerima berbagai tawaran yang datang, ikut ujian masuk berbagai program kuliah, daftar program Enjuku, daftar kampus-kampus swasta dan negeri, bahkan akhirnya mengambil jurusan IPC untuk SPMB (sekarang bernama SNMPTN). Singkat cerita saya 'terjebak' masuk ke dalam sebuah program professional Diploma Internasional di FTUI yang kuliahnya sudah dimulai sebelum SPMB. Kemudian saya juga lulus SPMB pilihan ketiga: Sastra Jerman UI. Saya akhirnya kuliah. Kekhawatiran selesai? Tidak.

Saya yang sejak kecil sudah berupaya dan bekerja (dari tukang jual plastik di pasar tradisional, hingga jadi tukang roti bakar saat saya SMA) semakin menjadi khawatir dan gusar tentang masa depan pada saat kuliah. Menimbang berbagai aspek: biaya, prospek karir, persaingan kerja. Seorang kawan saya bahkan pernah menambah kekhawatiran saya dengan berpesan "Saran gw sih lu jangan terusin di bidang IT, butuh biaya banyak buat terus update, lu ga akan mampu". Saya tambah khawatir? Tentu. Saya berhenti di bidang IT? Tidak.

Waktu berlalu, saya berhasil menyelesaikan waktu belajar selama kuliah dalam tiga tahun. Sayangnya waktu yang saya perlukan untuk menyelesaikan skripsi/tugas akhir juga selama tiga tahun. Sudah sibuk bekerja sebelum lulus, bekerja di perusahaan, kemudian freelance, kemudian bekerja lagi. Setelah lulus mengajar di sebuah diklat departemen pertahanan, bekerja di perusahaan PMA, dan selanjutnya dan selanjutnya ---tulisan ini juga bisa dianggap bentuk naratif dari curriculum vitae--hingga kini.

Kegusaran yang saya pupuk dan pelihara semenjak remaja, kini tumbuh subur. Semakin subur. Level gusar, gundah, khawatir semakin lama semakin tinggi dan besar. Masa depan semakin tak menentu. Masa depan itu tak tentu, maka harus kita rencanakan. Walau kenyataannya, shit happens. Jadi jangan terlalu khawatir tentang masa depan. Karena khawatir atau tidak masa depan akan gelap dan dipenuhi oleh berbagai teror. Cheerio!

Tidak ada komentar: